Penghapusan UU KDRT - Sudah Satu DASAWARSA!!
Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan konferensi pers terkait dengan satu dasawarsa Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Tanggal 22 September 2014, genap satu dasawarsa sejak disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Komnas Perempuan melakukan konferensi pers ini, dikarenakan peringatan satu dasawarsa yang sepi pemberitaan, juga untuk merefleksikan implementasi UU PKDRT yang fakta di lapangan menceritakan hal yang berbeda. Sejauhmana undang-undang ini memberikan perlindungan bagi perempuan di rumah tangga dan bagaimana pemangku kepentingan di tingkat pemerintah pusat dan daerah mengupayakan agar perempuan korban dapat mendapatkan akses keadilan? Adalah pertanyaan implementatif dari UU PKDRT ini. Hadir dalam konferensi pers tersebut, tiga komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu, Agustinus Supriyanto dan Desti Murdijana selaku wakil ketua Komnas Perempuan (24/09/2014)
Implementasi UU PKDRT
Pada konferensi pers ini Agustinus Supriyanto menyatakan, “Angka sepuluh, angka yang sempurna, satu dasawarsa untuk kita merefleksikan implementasi UU PKDRT. Namun dalam satu dasawarsa ini ada beberapa garis besar yang saya sampaikan. Intinya perempuan korban dalam fenomena KDRT belum mendapatkan akses keadilan, ini yang pertama. Yang kedua menurut CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan jumlah korban terus meningkat bahkan bentuk kekerasannya semakin bervariasi. Ketiga, para pemangku kepentingan belum bersungguh-sungguh menggunakan UU PKDRT, kemudian selanjutnya keempat, kasus KDRT yang dilaporkan itu lebih kecil daripada fakta sesungguhnya. Kemudian yang kelima masih minimnya kapasitas dalam pemahaman KDRT.”
Selanjutnya, Ninik Rahayu membentangkan beberapa fakta dari UU PKDRT, “Kalau UU PKDRT 10 tahun yang lalu dianggap sebagai pembaharuan, terobosan hukum karena memiliki daya luar biasa, mengubah daya hukum pidana murni menjadi persoalan pidana yang luar biasa, karena masuk dalam kategori pelanggaran HAM, masuk dalam kategori pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan, sehingga proses negosiasi dan lainnya semestinya tidak dilakukan terhadap implementasi undang-undang ini.” Negosiasi yang dimaksudkannya seperti yang terdapat dalam siaran pers Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan mengeluarkan siaran pers dengan judul “Satu Dasawarsa UU PKDRT: “Perempuan Korban Belum Mendapat Perlindungan Komprehensif”. Inti penting yang disampaikan dari siaran pers tersebut:
“Fakta kejadian kekerasan di dalam rumah tangga, sesungguhnya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan. Beberapa yang diidentifikasi sebagai penyebab antara lain; respon aparat penegak hukum yang justru menempatkan korban sebagai pihak yang harus menyediakan alat bukti, menghadirkan saksi. APH juga seringkali menawarkan “jasa” mediasi penyelesaian kasus atau kesulitan korban untuk menghadirkan pendamping”.
Akhirnya siaran pers ini menjelaskan beberapa kendala termasuk “negosiasi” yang dimaksudkan dalam implementasi UU PKDRT. Membaca data yang dimiliki oleh Komnas Perempuan, Ninik Rahayu menambahkan,”Angka-angka yang dilaporkan ini sebenarnya adalah angka-angka yang disumbangkan justru dari peradilan agama yang tidak memiliki kewenangan atau yuridiksi dalam pemidanaan.” Beliau mencontohkan, “Dalam proses perceraian saja maka putusan-putusan yang dibuat oleh hakim, biasanya untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga hanya dijadikan dasar pertimbangan ketika memutuskan seseorang untuk bercerai atau tidak? Termasuk berapa dukungan kepada perempuan korban perceraian, tetapi sama sekali tidak memidanakan pelakunya, karena tidak memiliki kewenangan. Nah, pertanyaan besarnya adalah: kenapa UU PKDRT tidak banyak digunakan di peradilan umum? “
Konferensi pers juga memaparkan banyak persoalan-persoalan termasuk kesulitan-kesulitan yang dialami oleh korban ketika melaporkan kasusnya di kepolisian dan mediasi yang dilakukan, sehingga tidak menuntaskan persoalan KDRT yang terjadi di dalam keluarga. “Yang membuat implementasi UU PKDRT ini dirasa masih sulit dilakukan karena dalam proses-proses penyidikan UU PKDRT ini seringkali dijadikan sebagai dasar pengajuan seseorang menjadi tersangka, namun dari proses peradilan sampai putusan ternyata masih tetap menggunakan KUHP. Jadi ini juga yang menjadi persoalan bahwa UU PKDRT masih membutuhkan lebih banyak dukungan agar lebih implementatif,“ ungkap Ninik Rahayu.
Berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, angka KDRT/Ranah Personal selama 10 tahun terakhir sebagai berikut:
Tahun | Jumlah KDRT/ RP |
2004 | 4.310 |
2005 | 16.615 |
2006 | 16.709 |
2007 | 19.253 |
2008 | 49.537 |
2009 | 136.849 |
2010 | 101.128 |
2011 | 113.878 |
2012 | 8.315 |
2013 | 11.719 |
Keterangan: Data dari 2004 sampai 2008 bersumber dari jumlah kasus yang dilaporkan pengadalayanan dan Komnas Perempuan. Sedangkan sumber data 2009-2011 diperoleh dari laporan mitra pengadalayanan dan data dari pengadilan agama. Tahun 2012 dan 2013 data bersumber hanya dari pengadalayanan dan Komnas Perempuan.
Reviktimisasi
Beragam kendala dalam implementasi tersebut juga didasarkan masih lemahnya perspektif berpihak kepada perempuan korban. Hal ini turut menyebabkan terjadinya kriminalisasi dan reviktimisasi kepada korban. Siaran pers Komnas Perempuan menyayangkan pernah terjadinya reviktimisasi perempuan korban.
“Penegakan UU PKDRT yang tidak diiringi dengan perspektif perlindungan perempuan korban berakibat pada reviktimisasi korban dan kriminalisasi korban meningkat. Padahal filosofi UU PKDRT merupakan bentuk perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan.“
Reviktimisasi perempuan korban KDRT, dari korban dinyatakan sebagai pelaku, menjadi salah satu topik yang hangat didiskusikan. Data pemantauan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, maka tahun 2013, terdapat 11 kasus perempuan korban yang dikriminalkan (reviktimisasi) dengan menggunakan undang-undang yang beragam, dari 11 kasus tersebut sebanyak 7 korban yang dikriminalkan dengan menggunakan UU PKDRT.
Mengenai kriminalisasi korban KDRT ini, Desti Murdijana, mengatakan memang bila dicermati ada orang-orang yang paham hukum dan kemudian mereka menggunakan hal itu sehingga dia bisa membawa kasus ini mengkriminalkan korbannya. Menurutnya,“Kalau kejadian (reviktimisasi) ini terjadi di kota-kota kecil, biasanya pelaku tidak melakukan tapi orang-orang yang melakukan ini sebenarnya orang-orang yang paham kalau hukum ini ada celahnya, yang bisa mengkriminalkan korban. Jadi refleksi kami: Benarkah UU PKDRT yang seharusnya memberikan lingkup perlindungan pada perempuan dan anak, pada lingkup yang paling kecil di rumah tangga sudah memberikan perlindungan itu? Kalau pada faktanya dengan undang undang yang sama justru bisa menjerat istri sebagai korban menjadi pelaku. Jadi itu sebenarnya yang menjadi bahan refleksi Komnas Perempuan.”
Artikel yang ditulis oleh Sri Nurherwati (Komisioner dan Ketua Subkomisi Pemulihan) memperlihatkan bahwa penekanan dari implementasi UU PKDRT semestinya berdasarkan pada perspektif adanya relasi kuasa yang timpang. Tulisannya yang berjudul “Pemidanaan dan Penelantaran Rumah Tangga menurut UU PKDRT” menjelaskan bahwa “Pemberlakuan UU PKDRT memang mencakup suami, istri, anak dan setiap orang yang ada dalam rumah tangga namun ruh implementasinya mengacu pada ketimpangan relasi antara pelaku dengan korban. Ketimpangan relasi yang menempatkan posisi yakni suami lebih berkuasa sehingga ketika istri melawan maka suami tidak dapat dikatakan sebagai korban KDRT.”
Selanjutnya ada pasal penting terkait dengan relasi kuasa yakni mengenai penelantaran rumah tangga. Pasal 9 Ayat (1) ini dapat mengaitkan antara KDRT, relasi kuasa dan imbasnya kepada penelantaran keluarga. Pasal ini berbunyi: ”Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu”. Sejatinya, UU PKDRT ini dilahirkan untuk menjawab persoalan KDRT yang dialami perempuan dan anak *)
SUMBER RESMI - http://www.komnasperempuan.or.id
SUMBER RESMI - http://www.komnasperempuan.or.id
Post a Comment
This blog needed you to understand the word spam - never spam on this blog, although i will not moderate all of it, but you will learn it yourself, educate yourself