Halloween party ideas 2015

rus

(PB) Jakarta – Lion Air dilaporkan bangkrut dan gagal bayar utang ke Boeing dan Airbus akibat timbunan utang swasta di negeri ini. Itulah rumor dan laporan dari para analis di media sosial. Benarkah? Kinerja keuangan Lion Air memang tidak bisa diakses karena merupakan perusahaan tertutup. Tapi dengan indikator nilai tukar Rupiah yang masih fluktuatif dan cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) bisa terbaca bahwa perusahaan itu sedang kesulitan.

Penguasa pasar penerbangan berbiaya hemat alias low cost carrier (LCC) di Indonesia itu banyak melakukan pesanan pesawat baik ke Boeing maupun ke Airbus. Pada Maret 2013 Lion Air pesan 234 unit Airbus dan ditandatangani di Perancis sebesar total Euro 18,4 miliar (USD 24 miliar) atau sekitar Rp 230 triliun.

Maret 2013, misalnya, CEO dan Presiden Direktur PT Lion Mentari Airlines, Rusdi Kirana meneken kontrak pembelian sebanyak 234 pesawat Airbus  A320 senilai US$ 24 miliar atau Rp 230,4 triliun.

Sebelumnya, 18 November 2011, Rusdi meneken kontrak pembelian sebanyak 230 pesawat Boeing 737 senilai US$ 21,7 miliar atau lebih Rp 195 triliun.

Banyak kalangan terkaget-kaget menyaksikan pembelian besar-besaran yang dilakukan Lion. Bayangkan, dari dua kontrak itu saja, Lion harus merogoh dana sebanyak Rp 425 triliun lebih. Betul, dana sebesar itu diperoleh dari kredit yang dikucurkan konsorsium yang dipimpin BNP Paribas, Perancis (untuk Airbus) dan konsorsium yang dipimpin US Exim Bank (untuk Boeing).

Itu artinya, dari kedua bank itu, Lion punya utang sangat besar. Belum lagi dari pinjaman lain. Sebab, Lion juga harus memenuhi kebutuhan pesawat untuk Batik Air dan Wings Air, termasuk Malindo Airways di Malaysia.

Pesanan dilakukan saat nilai tukar Rp 9.500 per USD. Pada 12 November 2014, Airbus mengirim tiga A320 sebagai tahap pertama order Lion Grup.

Sebelumnya, Lion juga mencatatkan pembelian terbesar bagi produsen pesawat asal AS, Boeing, pada November 2011. Maskapai yang kini juga buka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp 195 triliun pada kurs masih di kisaran Rp 9.500 per USD.

Analis penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, pembelian pesawat tidak bisa dilakukan lindung nilai (hedging fund) sehingga tidak bisa menghindari rugi kurs. Yang bisa dilakukan dengan menggunakan jasa leasing hanya untuk Down Payment (DP)nya saja.

Dengan asumsi pesanan pada kurs Rp 10.000 per USD saja sementara saat ini kurs Rp mencapai 12.800 per USD maka kerugian yang diderita Lion pada pesanan Boeing sebesar 61,6 triliun dan kerugian kurs pada pesanan Airbus sekitar Rp 67,2 triliun.

“Tapi menurut saya kerugian kurs akibat pesanan pesawat itu belum besar dirasakan saat ini karena selain bertahap kan juga ada mekanisme tersendiri. Nanti begitu pesawat datang, dibayar, dijual lagi ke perusahaan rental, lalu disewa lagi. Mekanismenya sudah benar kecuali kondisi keuangannya memang sedang tidak baik,” ulasnya.

Yang justru membebani Lion Air saat ini, kata Gerry, justru dari banyaknya pesawat yang ada saat ini. Biaya perawatan besar terlebih perawatan juga sangat tergantung nilai tukar Rupiah dan yang terbang belum tentu untung.

Insiden penundaan dan pembatalan (delay) semua penerbangan dari dan tujuan Jakarta sejak Rabu (18/2) hanya merupakan pucuk gunung es masalah yang membelit Lion Air. Di balik berbagai prestasi fantastis, maskapai penerbangan yang didirikan Kusnan dan Rusdi Kirana pada Oktober 1999 tersebut terindikasi mempunyai segudang masalah. Mulai beban utang, track record yang buruk, hingga perlakuan terhadap pegawai yang tidak selayaknya.

Lion Air disebut-sebut mengalami kerugian finansial sehingga dikhawatirkan bangkrut. Indikatornya, sejumlah pesawat belum boleh digunakan karena belum membayar uang sewa. Efek berantai kemudian diderita maskapai berlambang singa merah itu.

Adanya indikasi krisis keuangan tersebut dibenarkan pengamat penerbangan Gerry Soejatman. Konsultan keuangan yang sering terlibat dalam investigasi insiden pesawat jatuh itu menyatakan heran atas besarnya dampak yang ditimbulkan jika alasannya hanya karena tiga pesawat rusak. ’’Catatan saya, ada 13 jadwal penerbangan, mungkin lebih, yang batal terbang. Lalu, ada sekitar 50 jadwal yang delay. Ini aneh. Tidak masuk akal,’’ ucapnya kepada Jawa Pos (20/2).

Karena itu, Gerry sepakat jika memang ada yang menyatakan Lion Air sedang menghadapi persoalan finansial. ’’Saya coba tanya ke orang Lion, ada atau tidak pilot yang mogok? Sebab, ada yang mengatakan begitu. Tetapi, katanya tidak ada yang mogok. Jadi, indikasi karena faktor finansialnya semakin kuat. Bisa iya (faktor keuangan), bisa lebih dari itu,’’ ungkapnya. Gerry enggan menyebutkan persoalan besar apa yang dimaksud lebih dari sekadar finansial itu.

Kinerja keuangan Lion Air, kata Gerry, memang tidak bisa diakses karena merupakan perusahaan tertutup. Tetapi, dengan indikator nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif dan cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD), bisa terbaca bahwa perusahaan itu sedang mengalami kesulitan.

Penguasa pasar penerbangan berbiaya hemat alias low cost carrier (LCC) di Indonesia tersebut menjadi salah satu pemesan pesawat terbesar ke Boeing maupun Airbus. Maret 2013, Lion Air memesan 234 unit Airbus yang ditandatangani di Prancis dengan nilai total 18,4 miliar euro (USD 24 miliar) atau sekitar Rp 230 triliun. Pesanan dilakukan saat nilai tukar Rp 9.500 per USD. Pada 12 November 2014, Airbus mengirimkan tiga A320 sebagai tahap pertama order Lion Group.

Sebelumnya, Lion juga mencatatkan pembelian terbesar dari produsen pesawat asal AS, Boeing, November 2011. Maskapai yang kini juga membuka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp 195 triliun dengan kurs masih sekitar Rp 9.500 per USD.

Gerry menyatakan, dalam pembelian pesawat, tidak bisa dilakukan lindung nilai (hedging fund) sehingga tidak bisa menghindari rugi kurs. Yang bisa dilakukan adalah menggunakan jasa leasing hanya untuk down payment(DP)-nya. ’’Dengan asumsi pesanan pada kurs 10.000 per USD saja, sementara saat ini kurs mencapai 12.800 per USD, kerugian yang diderita Lion atas pesanan Boeing mencapai Rp 61,6 triliun dan kerugian kurs atas pesanan Airbus sekitar Rp 67,2 triliun,’’ jelasnya.

Menurut dia, kerugian kurs karena pesanan pesawat itu saat ini belum terasa besar. Sebab, selain bertahap, ada mekanisme tersendiri. ’’Nanti begitu pesawat datang, dibayar, dijual lagi ke perusahaan rental, lalu disewa lagi. Mekanismenya sudah benar, kecuali kondisi keuangannya memang sedang tidak baik,’’ katanya.

Yang justru membebani Lion Air saat ini, lanjut Gerry, adalah banyaknya pesawat yang beroperasi. ’’Biaya perawatan sangat besar. Terlebih perawatan juga sangat bergantung pada nilai tukar rupiah dan yang terbang belum tentu untung,’’ tambahnya.

Lion memang memiliki opsi untuk menjual sejumlah pesawat yang dianggap tidak efisien, selain untuk mengurangi beban. Namun, kata Gerry, persoalan saat ini, harga jual pesawat bekas sedang turun. ’’Jadi, kalau mereka jual sekarang, rugi juga. Situasi mereka sekarang memang seperti terjebak dalam persoalan serius. Cukup berat,’’ ungkapnya.

Bukti lain bahwa Lion memang terjerat permasalahan keuangan tampak dari kewajiban pengembalian uang tiket (refund) dan kompensasi delay yang sampai harus meminjam PT Angkasa Pura (AP) II hingga Rp 4 miliar. ’’Itu kenapa kok harus sampai ditalangi dulu? Mereka bilang Rp 3 miliar sampai Rp 4 miliar. Tapi, hitungan saya, uang kompensasi dan delay sejak Rabu sampai sekarang (kemarin) itu bisa sampai Rp 6 miliar,’’ tegasnya.

Gerry menyatakan, jadwal penerbangan memang bisa dikembalikan normal, asalkan seluruh maskapai serta pilot beroperasi lagi dan me-reset dengan membatalkan penerbangan kemarin dan dinormalkan hari ini. ’’Skala delaydan pembatalannya agak mengerikan. Tapi, persoalan seriusnya justru ada di internal perusahaan,’’ imbuhnya.

Analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Sudjatmiko mengungkapkan, risiko kurs memang harus dihadapi Lion Air dalam pembelian pesawat itu. ’’Jika dulu pesan di kisaran Rp 10 ribu per USD, ada kelebihan pembayaran sekitar 30 persen yang harus dikeluarkan saat pembayaran. Hal itu pasti berdampak pada keuangan mereka,’’ ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Terlebih, hampir seluruh pendapatan yang diraih Lion Group berdenominasi rupiah, sedangkan sebagian besar beban utang berupa USD. ’’Sementara Lion belum terlihat berupaya menggali pendanaan eksternal. Misalnya, menerbitkan surat utang berdenominasi USD untuk mengimbangi,’’ ujar Ahmad.

Selain itu, Lion lebih bermain di pasar LCC yang notabene margin keuntungannya sangat kecil karena berbiaya hemat. Untuk menyiasati, perusahaan sejenis itu harus pandai berhemat. Termasuk, akhirnya berusaha berhemat dalam penggunaan tenaga kerja di bidang perawatan (maintenance) pesawat. ’’Kalau bayar yang ahli, mungkin mahal. Setahu saya, perawatannya juga diserahkan ke orang mereka sendiri sehingga sering terjadi pesawat rusak,’’ ungkapnya.

Lion Sehat

Sementara itu, Direktur Umum Lion Air Edward Sirait menyangkal kondisi finansial perusahaannya memburuk. Dia memastikan tidak ada masalah dengan kondisi keuangan Lion Air, baik sebelum maupun setelah peristiwadelay kali ini. ’’Kalaupun rugi, misalnya puluhan miliar, itu adalah risiko bisnis yang harus kami tanggung,’’ ujarnya di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta kemarin. ’’Mudah-mudahan recovery-nya nanti cepat,’’ lanjutnya.

Terkait dengan pinjaman kepada AP II, Edward beralasan, hal itu dilakukan karena tidak tersedianya uang tunai dalam jumlah besar. ’’Kebetulan sedang hari libur,’’ tuturnya.

Akhirnya, Lion sepakat menggunakan dana Rp 4 miliar dari AP II untuk secepatnya menalangi pengembalian uang tiket penumpang. Sebelumnya, pengembalian uang tiket selalu dilakukan via transfer ke rekening penumpang.

Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Suprasetyo tidak banyak berkomentar soal dana talangan yang dikeluarkan AP II untuk Lion Air. ’’Itu kan B-to-B (business-to-business),’’ ujarnya. AP, menurut dia, tentu sudah memiliki perjanjian tertulis dengan Lion Air terkait dengan hal tersebut.

Pada 2013, manajemen Lion Group menyatakan, pendapatan yang diraih mencapai Rp 19 triliun. Pada 2014 ditargetkan menembus Rp 20 triliun. Lion Group dibangun Rusdi Kirana dengan modal Rp 9 miliar pada 1999.

Danil ( Sumber Konfrontasi.com )


Semua berita terbaru akan terus disajikan dalam blog brainbodymind, selamat membaca, dan jangan lupa untuk terus berlanganan blog ini.

Post a Comment

This blog needed you to understand the word spam - never spam on this blog, although i will not moderate all of it, but you will learn it yourself, educate yourself

Powered by Blogger.