Proses sidang praperadilan yang menyoal penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi oleh KPK kian menyedot perhatian publik. Ini karena apa pun vonis yang diputuskan pengadilan kelak akan menentukan siapa yang lebih kuat, Polri atau KPK.
Tak hanya khalayak pemerhati hukum dan politisi, bahkan Presiden Jokowi pun ikut menunggu proses hukum itu. Karena hasil pengadilan ini konon bakal dijadikan tumpuan utama bagi kepala negara untuk mengakhiri kemelut yang terjadi antara Polri dan KPK.
Bagi Budi Gunawan, mengajukan praperadilan atas keputusan KPK itu adalah sebuah keharusan. Selain jadi bagian dari upayanya lolos dari jerat hukum, langkah itu sekaligus demi mempertahankan hak untuk dilantik sebagai Kapolri.
Sikap KPK yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi, tentu sangat mengejutkan mantan ajudan Megawati Soekarnopurti itu. Pertama, status tersangka disematkan tanpa didahului panggilan oleh KPK. Penetapan tersangka itu juga dilakukan tiga hari setelah nama Budi Gunawan diajukan sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi.
Masuk akal belaka bila Budi Gunawan merasa dikriminalisasi. Penetapan dirinya sebagai tersangka dianggap tak didukung bukti kuat, melainkan karena ditunggangi oleh kepentingan lain.
Selain itu, penetapannya sebagai tersangka dinilai cacat hukum, karena diputuskan hanya oleh empat unsur pimpinan KPK. Ini karena satu pimpinan lainnya, Busyro Muqoddas, telah mengakhiri masa tugasnya pada 20 Desember 2014.
Menarik untuk dicermati bahwa Pasal 21 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK menjelaskan tentang sahih atau tidaknya dasar keputusan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Setiap penetapan tersangka, menurut pasal itu, harus dilakukan melalui keputusan kolektif kolegial.
Persepsi dan tafsir atas kolektif kolegial inilah yang mendasari pemahaman salah satu saksi ahli dari pemohon Prof. DR. Romli Atmakusumah. Keputusan absolut, menurut dia, harus dihadiri oleh lima unsur pimpinan KPK.
“Penetapan seseorang menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bersifat kolektif-kolegial. Harus ditetapkan oleh lima pimpinan KPK. Oleh karena itu, hal-hal yang diputuskan pimpinan KPK dalam jumlah yang kurang dari lima orang, menurut pemahaman saya, tidak dibenarkan,” ujar Romli Atmakusumah.
Persepsi kolektif kolegial ini seolah dijadikan senjata bagi kuasa hukum Budi Gunawan untuk mematahkan langkah KPK menjerat klien-nya. Selain itu, bila hakim memenuhi permohonan itu, maka KPK yang selama ini digdaya dalam menangani kasus korupsi di negeri ini pun dipaksa menjemput ajal lebih cepat.
Dalam Undang-Undang KUHAP sebenarnya menggugat status tersangka tidak ada dalihnya. Praperadilan bisa diajukan hanya pada kasus-kasus penangkapan dan penggeledahan yang dianggap di luar prosedur hukum. Tapi dengan tafsir terhadap isi pasal-pasal yang bisa dimungkinkan menjadi dasar hukum, semisal tentang kalimat kolektif kolegial ini, gugatan praperadilan bisa saja diajukan.
Bertumpu pada keyakinan tersebut, pantaslah pemohon Komjen Budi Gunawan optimistik akan memenangkan gugatan. Tafsir tentang “kolektif kolegial” inilah yang bisa menggugurkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Dengan demikian dia berharap bisa langsung dilantik sebaga Kapolri oleh Presiden.
Indonesia adalah negara hukum. Bila seorang warga Negara berkepentingan mendapatkan keadilan, maka pengadilan adalah satu-satunya tempat mencari keadilan itu. Jadi sesungguhnya gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan tak bisa ditolak hanya karena lembaga hukum tidak memiliki kewenangan.
Tapi itu semua persepsi dari saksi ahli yang diajukan Budi Gunawan. Pihak KPK tentu punya argumen lain. Tafsir Profesor Romli tentang “kolektif kolegial” itu, kata kuasa hukum KPK Catherine Girsang, didasarkan pada kekeliruan dalam memahami pertimbangan putusan MK Nomor 49/PUU-XI/2013.
Dalam pertimbangannya, MK sama sekali tidak pernah menyatakan bahwa pengambilan keputusan secara kolektif kolegial oleh pimpinan KPK adalah pengambilan keputusan yang harus disetujui oleh lima orang pimpinan KPK.
Pandangan kuasa hukum KPK itu diperkuat dalam amar putusan MK sesuai pengajuan yudicial review atau peninjauan kembali pada medio November 2013, yang mengabulkan pemohon agar ketentuan pasal 21 ayat (5) UU KPK terkait “kolektif kolegial” dapat dimaknai juga sebagai pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK melalui mekanisme suara terbanyak.
MK dalam pertimbangannya pada halaman 32 juga menyatakan, hal tersebut juga dimaksudkan agar KPK bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan hukum dalam pemberantasan korupsi. Karena jika tidak demikian atau hanya diberikan kewenangan kepada seorang ketua atau dengan keputusan mayoritas anggota pimpinan, dikhawatirkan terjadi kesalahan dan kekeliruan atau penyalahgunaan KPK oleh kekuatan politik lain di luar KPK.
Menurut Catherine Girsang, pandangan yang mempersoalkan penetapan tersangka Budi Gunawan tidak memenuhi unsur “kolektif kolegial” adalah berlebihan. Makna kolektif kolegial terdistorsi karena kuasa hukum Budi Gunawan memahaminya secara sepenggal. Padahal konsep “kolektif kolegial” punya makna kerja berjenjang yang saling mengisi satu sama lainnya.
Ini, meurut Catherine Girsang, sesuai tujuan awal pembentukan KPK sebagai lembaga yang independen. Jadi tidak boleh berhenti dalam penanganan kasus korupsi, yang dianggap sudah menjadi wabah.
‘”Berdasarkan pemahaman tersebut, maka keputusan KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka adalah sah, karena dilaksanakan berdasarkan hukum,” kata Chaterine Girsang.
Maka proses hukum praperadilan Budi Gunawan versus KPK itu adalah masalah tafsir pasal “kolektif kolegial” itu. Dari tafsir inilah kelak nasib KPK ditentukan: Tetap digdaya sebagai superbody ataukah dipaksa menjemput ajal.
Seandainya vonis hakim kelak memenangkan gugatan Budi Gunawan, maka bisa dipastikan akan muncul sederet gugatan praperadilan lainnya. Terutama dari kasus-kasus penetapan tersangka korupsi yang diputusakan oleh KPK selama periode setelah berakhirnya masa tugas Busyro Muqoddas. Dengan dalih “kolektif kolegial” inilah, para kuasa hukum tersangka korupsi menemukan solusi untuk menjegal langkah-langkah KPK.
Kini tinggal bagaimana hakim pengadilan tinggi negeri dituntut mampu memberi kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Vonis hakim dalam menangani kasus ini bagaimanapun sangat menentukan. Bukan saja akan mengakhiri perseteruan antara Polri dan KPK, tapi juga menciptakan kepastian hukum bagi setiap warga negara di negeri ini.
Sumber: indonesianreview
from Suaranews http://ift.tt/1A0Dpq3
via Berita Indonesia, SuaraNews, semua artikel resmi dari suaranews, silahkan kunjungi website suaranews untuk mendapatkan informasi dan berita yang lebih lengkap. nikmati terus informasi terbaru dan berita aktual lainnya juga. selamat beraktivitas
Post a Comment
This blog needed you to understand the word spam - never spam on this blog, although i will not moderate all of it, but you will learn it yourself, educate yourself