
PB, JAKARTA – Perbedaan dalam melakukan tindakan, terutama terhadap sebuah kepentingan yang menurut Yakub Arupalakka untuk menyenangkan para mafia perdagangan yang selalu saja mencari celah untuk bisa meraup keuntungan yang sangat banyak, dengan melakukan impor, usai harga barang komoditas tertentu menjadi mahal.
“Saya masih heran dengan pemerintah yang langsung bergerak cepat mendatangi dan membongkar gudang milik sebuah perusahaan beras, hanya karena laporan yang didapat jika harga beli gabah di petani lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh pemerintah,” ujarnya yang menganggap jika alasan pemerintah jika yang dilakukan oleh perusahaan tersebut mengganggu stabilitas perjalanan gabah dari petani ke penggilingan lalu ke perusahaan beras.
Menurut Yakub, tindakan yang dilakukan oleh perusahaan beras membeli langsung, justru akan membuat pihak penggilingan padi tidak bisa mempermainkan harga yang selayaknya, karena Yakub yakin jika para petani harus bisa ikut merasakan kesejahteraan ekonomi menjadi baik karena harga gabah mereka dibeli sedikit lebih tinggi.
Kemudian Yakub membandingkan dengan kasus mahalnya harga garam hampir diseluruh wilayah Indonesia, sejak beberapa hari lalu. Yakub merasa heran jika alasan pemerintah yang mengatakan jika daerah sentra penghasil garam belum melakukan panen dikarenakan iklim, tanpa memberikan penjelasan iklim seperti apa yang mengganggu produksi, dan akibatnya harga garam mencapai 200 persen.
“Seperti biasanya setelah harga mahal kemudian munculah ijin impor dan tidak main-main, Mendag langsung memberikan ijin kepada 27 perusahaan untuk melakukan impor garam,” ucap Yakub yang mengaku tidak tahu perusahaan dan konglomerat mana saja yang mendapatkan ijin impor garam.
Untuk wilayah Jawa Timur saja, ada 7 buah perusahaan yang selama ini menyerap garam dari petani, yaitu Sumatraco Langgeng Abadi, Cheetam Garam Indonesia, Saltindo, Unichem, Budiono Bangun, Susanti Megah, dan Garindo Sejahtera Abadi. Yakub yakin jika ketujuh perusahaan tersebut termasuk dalam daftar penerima ijin impor.
Ijin Impor Garam selama ini hanya dimiliki oleh PT. Garam, walau demikian dari tahun ke tahun harga garam masih stabil dan bisa menjangkau seluruh pengguna garam, baik warga maupun industri, namun kemudian pada tahun ini tiba-tiba harga garam melonjak tinggi hanya dalam waktu 5 hari mencapai 200 persen, bahkan masih saja terus beranjak. Ke-27 perusahaan yang mengantongi ijin, akan melakukan impor selama satu semester atau 6 bulan lamanya.
“Saya hanya khawatir jika nantinya para petani garam kita panen, justru akan gigit jari dikarenakan garam impor yang membanjiri pasar, harganya akan lebih murah, sudah pasti petani kita akan gigit jari lagi,” ujar Yakub yang berdoa semoga hal itu tidak terjadi, walaupun Yakub sedikit pesimis.
Yang tidak kalah menariknya, jika selama ini hanya PT. Garam yang memiliki ijin impor, namun pada tanggal 10 Juni 2017 tiba-tiba saja Dirut PT. Garam Achmad Boediono, ditangkap Bareskrim Mabes Polri, dengan tuduhan melakukan pemalsuan data terkait dengan ijin impor yang dikantongi.
Keterangan pihak Mabes Polri, Achmad Boediono melakukan pemalsuan dokumen, dengan cara memanggil perusahaan garam yang biasa melakukan impor, dan beberapa perusahaan dari Indoa dan Australia, akhirnya melakukan pertemuan dengan PT. Garam dan disepakati, Australia mengimpor sebanyak 55.000 ton dan India 20.000 ton.
Namun dalam perjalanan, PT. Garam yang diberikan ijin mengimpor garam konsumsi, justru memenangkan perusahaan, baik dari India dan Australia, yang justru dikenal mengekspor garam industri, bukan untuk konsumsi. Bahkan Achmad ternyata selama ini melakukan penipuan, dengan cara mengganti kadar kandungan Natrium Chlorida (NiCa) pada garam menjadi 94,7 persen sebagai syarat garam konsumsi, namun kenyataannya hasil laboratorium menunjukkan kadar NiCa mencapai 99 persen yang khusus diperuntukkan bagi garam industri.
Hal ini dilakukan oleh Achmad dikarenakan, harga garam Industri hanya berkisar Rp. 400/kg sementara garam konsumsi Rp. 1.200/kg, sudah tentu, Achmad yang ditengarai bagian dari mafia garam, mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Bahkan untuk mengelabui konsumen, Achmad nekad mengganti kemasan garam, dengan menuliskan jika bahan bakunya adalah lokal.
Bahkan bukan itu saja, Achmad juga tidak memberikan hak kepada petani garam sebesar 10 persen dari nilai impor, dimana peraturan Mendag jika bea masuk sebesar 10 persen tidak dipungut, namun diberikan kepada petani garam, agar mereka bisa terlindungi dari serbuan garam impor.
“Saya yakin jika persoalan ini akibatkan impor garam tertunda dan merupakan salah satu penyebab langkanya kemudian berimbas pada harga garam melambung, jadi persoalan keterlambatan panen hanyalah alasan kecil,” ujar Yakub yang merasa yakin jika adanya sebuah “permainan” beberapa orang yang ingin mendapatkan ijin impor garam, karena membeli dari PT. Garam sudah tentu harganya lebih mahal, terutama penggunaan dalam skala besar untuk industri.
Yakub meminta kepada seluruh elemen masyarakat untuk bisa ikut membantu dalam hal pengawasan kepada ke 27 perusahaan yang akan mengimpor garam, karena bukan tidak mungkin, hal itu akan dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk kepentingan pribadi mereka, mengingat pengguna garam industri di Indonesia bisa dikatakan cukup besar.
Sesuai dengan data dari Kementerian Perindustrian, kebutuhan garam secara nasional mencapai 2,6 juta ton dan pengguna terbesar berasal dari sektor industri, terutama industri Soda Kostik, Farmasi dan aneka pangan. Nilai impor garam mencapai hingga ratusan juta dollar amerika. dengan perbandingan pada tahun 2013 saja, impor garam mencapai USD 104 juta, dan diperkirakan nilai tersebut semakin naik. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri.
(jall)
Semua berita terbaru akan terus disajikan dalam blog brainbodymind, selamat membaca, dan jangan lupa untuk terus berlanganan blog ini.
Post a Comment
This blog needed you to understand the word spam - never spam on this blog, although i will not moderate all of it, but you will learn it yourself, educate yourself