Halloween party ideas 2015

IMG-20170307-WA0043

Jakarta – Sebagai penulis dua buku, masing-masing berjudul, “Ancaman dan Strategi Penanggulangan Terorisme Di Dunia Dan Indonesia” dan buku kedua berjudul, “Politik Islam : Antara Moderasi & Radikalisasi” Dr. Sri Yunanto memerlukan waktu dan pengkajian yang tidak bisa dibilang mudah dan cepat.

“Saya menghabiskan waktu hingga bertahun lamanya, dan persoalan terorisme menjadi salah satu program utama presiden Jokowi, untuk dibasmi,” ujarnya kepada wartawan.

Yunanto seakan menyebutkan jika keinginan Jokowi selaku Presiden RI terkait dengan pemberantasan terorisme di Indonesia, menjadi salah satu pemicu dirinya untuk segera menyelesaikan kedua bukunya tersebut.

 

Dan akhirnya pada Selasa (7/3) bertempat di Gedung FISIP UI, Depok Jawa Barat, kedua bukunya menjadi puncak penghargaan dengan dilakukannya bedah buku sekaligus menjadi topik seminar dengan judul, “Seminar dan Bedah Buku Politik Islam, Ancaman dan Strategi Penanggulangan Terorisme”.

Jpeg

Seminar dan bedah buku dibagi dalam dua sesi, dan sebagai narasumber juga hadir beberapa tokoh selain  DR. Sri Yunanto selaku penulis buku dan Direktur Eksekutif IPSS ( Institute for Peace and Security Studies).

Lalu hadir juga Prof.DR. Azyumardi Azra CBE, Mantan Rektor dan Guru Besar UiN Syarif Hidayatullah, Jakarta, DR. Riefqi Muna, Peneliti Lipi, DR. M. Luthfi Yuhdi, Direktur Sekolah Stratejik dan Global Universitas Indonesia dan Irjen Polisi (Purn) Benny Mamoto, Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.

Dalam sesi pertama, narasumber, masing-masing Benny Mamoto, Riefqi Muna dan Sri Yunanto, dengan pembahasan pada buku berjudul, “Ancaman dan Strategi Penanggulangan Terorisme Di Dunia Dan Indonesia”.

Persoalan teroris di Indonesia, masih ada, bahkan kemunculan nama-nama baru masih berkaitan dengan anggota teroris lama, bahkan bisa dikatakan “warisan”, ujar Sri Yunanto, sambil mencontohkan anggota teroris yang berhasil di lumpuhkan di Solo, adalah anak dari seorang anggota teroris lama.

Yunanto juga menyinggung dalam bukunya yang merupakan hasil survey yang dilakukan oleh Global Terorisme Index, Indonesia saat ini dikategorikan dengan “Warna Kuning” dan Indonesia menduduki peringkat 33 dengan nilai skor 4.76, yang berada di bawah beberapa negara.

“Masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Irak, Afghanistan dan Nigeria, namun tidak lebih buruk dibandingkan dengan Malaysia, Tunisi dan Ethiopia, yang memiliki skor 3,5 sampai dengan 3,6 dengan peringkat 47-50,” ujar Sri Yunanto yang juga tertuang dalam bukunya.

Sementara itu Benny Mamoto yang sempat diwawancarai secara terpisah mengatakan jika saat ini ribut soal bom panci yang berdaya ledak rendah, dikarenakan pembuat bom dengan daya ledak besar sudah tiada.

“Yang kelas beratnya (teroris ahli bom) sudah tidak ada lagi, dan yang bergerak masih dalam tahap proses, namun kewaspadaan tetap harus dijaga,” ujar Benny yang juga pernah menjadi Wakil Sekretaris NBC – Interpol.

Hal itu sesuai dengan yang dikatakan oleh Yunanto dalam bukunya, jika organisasi-organisasi teroris yang memiliki akar dan dana kuat, sudah berjalan sendiri-sendiri, bahkan ada juga yang menjadi single fighter.

Pada sesi kedua, usai istirahat makan, narasumber berganti, dan hadir Azmuyardi Azra, Luthfi Yuhdi dan tentu saja Sri Yunanto sebagai penulis buku, “Politik Islam : Antara Moderasi & Radikalisasi”.

Azyumardi yang didaulat sebagai pembicara pertama, mengatakan jika kondisi politik Islam secara global menurun, bahkan berdampak pada bidang ekonomi, sambil menceritakan kondisi politik di timur tengah yang masih saja berkecamuk.

“Berbeda di Indonesia, kita punya adat dan budaya serta kebiasaan masyarakat Indonesia, yang sangat tinggi memegang adat ketimuran, dan secara otomatis jika konflik terjadi, namun relatif stabil dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi,” ujar Azyumardi.

Sementara itu Luthfi sendiri menceritakan bagaimana politik Islam mulai mempengaruhi politik Indonesia, dan itu dimulai ketika kembalinya tiga tokoh Islam yang menjadi ulama di tanah Arab, ketika awal-awal penjajahan di Indonesia.

“Usai konferensi ulama di Arab, mereka kembali ke Indonesia, dan mereka mulai melakukan perlawanan secara politik terhadap politik Belanda, karena mereka berdasar pada Islam, maka politik mereka sudah tentu politik Islam,” ujar Luthfi, dihadapan mahasiswa UI.

Ketiganya memiliki kelebihan berbeda, Kyai Nawawi yang dikenal dengan nama Kyai Nawawi Banten, dikenal sebagai seorang ulama intelektual, namun Kyai Nawawi rupanya lebih memilih untuk kembali ke Arab.

Jpeg

Berbeda dengan Kyai Rifai yang terkenal dengan kepintarannya dalam berpuisi, dan sekitar 5000-an puisi sudah dibuat dan dinikmati masyarakat saat itu. Namun dibalik sifat lembutnya, Kyai Rifai ternyata memiliki karakter tegas dan keras, bahkan bukan hanya penjajah disebutnya sebagai orang Kafir, para pendukung dan antek Belanda saat itu juga dikategorikan sebagai kafir. Dan akibat kerasnya perlawanan politik yang diusung melawan penjajah di Semarang, Kyai Rifai akhirnya dibuang ke Batam.

Sementara itu Kyai Haji Kholil yang dikenal dengan Kyai Kholil Bangkalan, memiliki sentuhan dari sisi seni, dan politik Islam yang diusungnya untuk melawan penjajah saat itu, dengan membungkusnya dengan cara-cara kebudayaan, dan hal itu masih kental terasa hingga kini.

Hal itu jelas berbeda dengan politik Islam di Timur Tengah, menurut Luthfi salah satu contoh yang sangat jelas terjadi, di Tunisia, ketika Arab Spring

Azyumardi yakin jika Indonesia memiliki pondasi ekonomi yang kuat, dikarenakan konflik politik di Indonesia relatif stabil. Azyumardi mencontohkan ketika terjadinya krisis ekonomi secara global, yang dikenal dengan istilah “Krismon”. Namun Indonesia rupanya lebih cepat pulih dibandingkan negara-negara yang setara Indonesia, seperti India

“Saya dikabari salah satu teman saya yang di Davao Filipina, ada sebuah lembaga ekonomi yang memprediksikan jika Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, dan berada pada nomor urut lima,” ujarnya meyakini ucapan temannya tersebut.

Terkait dengan politik Islam dan hubungannya dengn radikalisme di Indonesia, Azyumardi yakin jika hal itu tidak berdampak secara langsung.

“Yang dianggap sebagai kelompok radikal hanyalah sebagian kecil dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia, dan saya percaya jika sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan terpengaruh,” ujar Azyumardi yang juga menjadi pengantar dalam buku, yang dikarang oleh Dr. Sri Yunanto dan di terbitkan oleh Institute For Peace and Security Studies (IPSS).

(Rijal)


Semua berita terbaru akan terus disajikan dalam blog brainbodymind, selamat membaca, dan jangan lupa untuk terus berlanganan blog ini.

Post a Comment

This blog needed you to understand the word spam - never spam on this blog, although i will not moderate all of it, but you will learn it yourself, educate yourself

Powered by Blogger.